Kamis, 17 Mei 2012

PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPM MANDIRI) SEBAGAI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA


PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPM MANDIRI) SEBAGAI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Masalah klasik berupa kemiskinan di Indonesia dipandang akan tetap menjadi masalah yang terberat yang akan dihadapi pemerintah di tahun 2012 ini. Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, gizi anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Agar tingkat kemiskinan di Indonesia dapat menurun diperlukan dukungan dan kerja sama dari pihak masyarakat dan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, setiap tahun disusun APBN/APBD untuk merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dari tahun ke tahun tetap memprioritaskan penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas utama demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Tidak sedikit anggaran negara yang dikeluarkan bahkan telah mencapai triliunan rupiah yang dipergunakan untuk melaksanakan banyak sekali program-program penanggulangan kemiskinan, melalui skema dekonsentrasi, desentralisasi, tugas pembantuan, maupun bantuan sosial langsung.
Pemerintah juga telah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dibawah Wakil Presiden (Wapres) yang berupaya untuk melakukan koordinasi antar pihak dalam upaya mainstreaming penanggulangan kemiskinan di berbagai aspek. Di daerah terdapat lembaga Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPK). Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga telah membuat clustering penanggulangan kemiskinan dengan segala instrumen implementasi dan evaluasi secara nasional.
Berbagai cara telah dilakukan, namun sampai dengan saat ini cara-cara tersebut dianggap masih belum juga mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sehingga penanggulangan kemiskinan masih tetap menjadi prioritas nasional Kabinet Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode 2009–2014.
Selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan baik melalui penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja dan sebagainya. Upaya-upaya tersebut pada dasarnya telah dijabarkan dan tertuang dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satu diantaranya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri atau yang lebih dikenal dengan istilah PNPM Mandiri. Sama halnya dengan programprogram penanggulangan kemiskinan lainnya seperti Program Keluarga Harapan (PKH), PNPM Mandiri juga merupakan program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan sejak Tahun 2007 dan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan, setidaknya hingga tahun 2015.
PNPM Madiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat.

B.     PEMBAHASAN
Pertumbuhan, Kesenjangan Dan Kemiskinan
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin. Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia. Janti (1997) menyimpulkan semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.

Beberapa Indikator Kesenjangan Dan Kemiskinan
1.   Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini. Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.0

2.   Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).

Kemiskinan di Indonesia
Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama melihat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita I hingga 1997 (sebelum krisis ekonomi).
Kalau dilihat data dari Asia dalam studinya Dealolikar dkk. (2002), kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase perubahan kemiskinan antara kelompok negara dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelompok negara dengan pertumbuhan yang rendah.

Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila warganya ikut berpartisipasi.
Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek. Disini subyek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat atau obyek saja.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)
Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan  penciptaan lapangan kerja, Pemerintah Indonesia meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan mengenai mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga masyarakat miskin tersebut bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan.
Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi;  Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik.
Tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai kementerian/sektor dan pemerintah daerah.
Pelaksanaan PNPM Mandiri 2008 juga diprioritaskan pada desa-desa tertinggal. Efektivitas dan efisiensi dari kegiatan yang dilaksanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah selama ini sering berduplikasi antar proyek sehingga diharapkan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir dapat diwujudkan. Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). MDGs adalah kesepakatan global untuk mencapai target pembangunan bersama yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan; pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi penyakit menular dan penyakit lainnya; menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan mengembangkan emitraan global untuk pembangunan. Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut

C.    KESIMPULAN
Program PNPM Mandiri yang diluncurkan oleh Pemerintah sesungguhnya merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja melalui konsolidasi program-program pemberdayaan masyarakat yang ada di berbagai Kementerian/Lembaga.
Yang menjadi ciri khas dari PNPM Mandiri yaitu program ini melakukan penyaluran pendanaan operasional ke kegiatan secara langsung ke masyarakat tidak melalui Pemerintah Daerah. Dengan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir.

Daftar Pustaka
http://www.antaranews.com/berita/1306409166/apbn-dinilai-lebih-kedepankan-fungsi-akuntansi
www.Pergerakan-Indonesia.org
http://tugas-akuntansi.blogspot.com/2012/02/pengentasan-kemiskinan-dan-pemberdayaan.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/benefit-of-accounting-for-poverty-alleviation-against-inflation-issues-2/

PERLAKUAN KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN INFLASI (PELAPORAN KEUANGAN DAN PERUBAHAN HARGA DALAM AKUNTANSI INTERNASIONAL)


PERLAKUAN KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN INFLASI (PELAPORAN KEUANGAN DAN PERUBAHAN HARGA DALAM AKUNTANSI INTERNASIONAL)

A.    Latar Belakang Masalah

Fluktuasi nilai mata uang dan perubahan dalam harga uang atas barang dan jasa merupakan karakteristik yang terpisahkan dalam bisnis internasional. Untuk memahami istilah perubahan harga (changing prices), kita harus membedakan antara pergerakan harga umum dan pergerakan harga spesifik, yang keduanya termasuk dalam istilah perubahan harga itu. Suatu perubahan harga umum terjadi apabila secara rata-rata harga seluruh barang dan jasa dalam suatu perekonomian mengalami perubahan. Kenaikan harga secara keseluruhan disebut sebagai inflasi (inflation), sedangkan penurunan harga disebut sebagai deflasi (deflation).
Perubahan harga spesifik mengacu pada perubahan dalam harga barang atau jasa tertentu yang disebabkan oleh perubahan dalam permintaan dan penawaran. Kehancuran sosial dan politik yang ditimbulkan oleh rangkaian periode hiperinflasi (ketika laju inflasi meningkat lebih dari 50 % tiap bulannya) terdokumentasi dengan baik dan hal ini menjelaskan mengapa tingkat harga yang stabil menjadi prioritas nasional bagi banyak negara di dunia, kalangan usaha juga merasakan pengaruh inflasi pada saat harga factor produksi meningkat. Meskipun perubahan harga terjadi diseluruh dunia, pengaruh terhadap pelaporan bisnis dan keuangan berbeda-beda dari satu negara ke negara lain.
Selama periode inflasi, nilai aktiva yang dicatat sebesar biaya akuisisi awalnya jarang mencerminkan nilai terkininya (yang lebih tinggi). Ketidak akuratan pengukuran ini mendistorsi (1) proyeksi keuangan yang didasarkan pada data seri waktu historis (2) anggaran yang menjadi dasar pengukuran kinerja dan (3) data kinerja yang tidak dapat mengisolasi pengaruh inflasi yang tidak dapat dikendalikan. Laba yang dinilai lebih pada gilirannya akan menyebabkan :
1.      Kenaikan dalam proporsi pajak
2.      Permintaan dividen lebih banyak dari pemegang saham
3.      Permintaan gaji dan upah yang lebih tinggi dari para pekerja
4.  Tindakan yang merugikan dari negara tuan rumah (seperti pengenaan pajak keuntungan yang sangat besar).

Kegagalan untuk menyesuaikan data keuangan perusahaan terhadap perubahan dalam daya beli unit moneter juga menimbulkan kesulitan bagi pembaca laporan keuangan untuk menginterpretasikan dan membandingkan kinerja operasi perusahaan yang dilaporkan. Dalam periode inflasi, pendapatan umumnya dinyatakan dalam mata uang dengan daya beli umum yang lebih rendah (yaitu daya beli periode kini), yang kemudian diterapkan terhadap beban terkait. Prosedur akuntansi yang konvesional juga mengabaikan keuntungan dan kerugian daya beli yang timbul dari kepemilikan kas (ekuivalennya) selama periode inflasi.
Oleh karena itu, mengakui pengaruh inflasi secara eksplisit berguna dilakukan karena :
1.    Pengaruh perubahan harga sebagian bergantung pada transaksi dan keadaan yang dihadapi suatu perusahaan.
2.  Mengelola masalah yang ditimbulkan oleh perubahan harga bergantung pada pemahaman yang akurat atas masalah tersebut.
3.     Laporan dari para manajer mengenai permasalahan yang disebabkan oleh perubahan harga lebih mudah dipercaya apabila kalangan usaha menerbitkan informasi keuangan yang membahas masalah-masalah tersebut.
Meskipun laju inflasi melambat, akuntansi perubahan harga tetap berguna karena efek kumulatif inflasi yang rendah dalam beberapa waktu dapat signifikan. Pengaruh distorsi inflasi masa lalu dapat juga bertahan selama bertahun-tahun, mengingat umur panjang kebanyakan aktiva.

B.     Pembahasan

Secara umum Inflasi adalah kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus selama waktu tertentu.
Dampak Inflasi Terhadap Kegiatan Ekonomi Masyarakat
1.      Dampak Positif
-          Peredaran / perputaran barang lebih cepat.
-          Produksi barang-barang bertambah, karena keuntungan pengusaha bertambah.
-          Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi.
-        Pendapatan nominal bertambah, tetapi riil berkurang, karena kenaikan pendapatan kecil.
2.      Dampak Negatif
-          Harga barang-barang dan jasa naik.
-          Nilai dan kepercayaan terhadap uang akan turun atau berkurang.
-          Menimbulkan tindakan spekulasi.
-          Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar.
-          Kesadaran menabung masyarakat berkurang.

Pihak-pihak yang Mendapatkan Keuntungan dan yang Mendapatkan Kerugian
1.      Pihak-pihak yang diuntungkan
a.      Para pengusaha, yang pada saat sebelum terjadinya inflasi, telah memiliki stock/persediaan produksi barang yang siap dijual dalam jumlah besar.
b.     Para pedagang, yang dengan terjadinya inflasi menggunakan kesempatan memainkan harga barang. Cara yang dipakai adalah dengan menaikkan harga, karena ingin mendapatkan laba/keuntungan yang besar.
c.          Para spekulan, yaitu orang-orang atau badan usaha yang mengadakan spekulasi, dengan cara menimbun barang sebanyak-banyaknya sebelum terjadinya inflasi dan menjualnya kembali pada saat inflasi terjadi, sehingga terjadinya kenaikan harga sangat menguntungkan mereka
d.         Para peminjam, karena pinjaman telah diambil sebelum harga barang-barang naik, sehingga nilai riil-nya lebih tinggi daripada sesudah inflasi terjadi, tetapi peminjam membayar kembali tetap sesuai dengan perjanjian yang dibuat sebelum terjadi inflasi. Misalnya, para pengambil kredit KPR BTN sebelum inflasi yang mengakibatkan harga bahan bangunan dan rumah KPR BTN naik, sedangkan jumlah angsuran yang harus dibayar kepada BTN tetap tidak ikut dinaikkan.

2.      Pihak-pihak yang dirugikan
a.      Para konsumen, karena harus membayar lebih mahal, sehingga barang yang diperoleh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya inflasi.
b.        Mereka yang berpenghasilan tetap, karena dengan penghasilan tetap, naiknya harga barang-barang dan jasa, mengakibatkan jumlah barang-barang dan jasa yang dapat dibeli menjadi lebih sedikit, sehingga pendapatan riil/nyata berkurang, sedangkan kenaikan penghasilan atau pendapatan pada saat terjadi inflasi sulit diharapkan.
c.          Para pemborong atau kontraktor, karena harus mengeluarkan tambahan biaya agar dapat menutup pengeluaran-pengeluaran yang diakibatkan terjadinya inflasi dan mengakibatkan berkurangnya keuntungan yang diperoleh dari proyek yang dikerjakan.
d.       Para pemberi pinjaman/kreditor, karena nilai riil dari pinjaman yang telah diberikan menjadi lebih kecil sebagai akibat terjadinya inflasi. Misalnya, sebelum inflasi, pinjaman Rp 500.000,00 = 25 gram emas, sesudah inflasi = 20 gram emas.
e.        Para penabung, karena pada saat inflasi bunga yang diperoleh dari tabungan dirasakan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga yang terjadi. Di samping itu akibat naiknya harga barang-barang dan jasa, nilai uang yang ditabung menjadi lebih rendah/turun, jika dibandingkan dengan sebelum terjadi inflasi.

Perlakuan Keuntungan dan Kerugian Inflasi
Perlakuan keuntungan dan kerugian dari item-item moneter yaitu kas piutang dan utang merupakan isu yang kontroversial. Di Amerika, keuntungan dan kerugian dari item-item moneter ditentukan dengan me-restate ke dalam dolar konstan. Ini menyiratkan bahwa FASB memandang keuntungan dan kerugian dalam item moneter berbeda sifatnya dengan laba-laba lain.
Di Inggris, keuntungan dan kerugian atas item moneter dipisahkan menjadi modal kerja dan gearing adjustment. Kedua jumlah tersebut berkaitan dengan perubahan tingkat harga spesifik, bukan perubahan tingkat harga umum. Mendasari modal kerja moneter, dasar pemikiran berikut di berikan SSAP no.16 paragraf 11-13: ketika penjualan dilakukan secara kredit perusahaan sebenarnya mengikat modal kerja sampai piutang terkait ditagih. Gearing adjustment mengindikasikan keuntungan atau biaya bagi pemegang saham dari pembiayaan hutang selama periode perubahan harga. Angka ini ditambah (dikurang) terhadap laba operasi biaya berjalan untuk menghasilkan ukuran kekayaan yang dapat dibelanjakan (disposable wealth) bernama laba biaya berjalan bagi pemegang saham (Current Cost Profit Attributable to Shareholders).
Di negara Brazil tidak menyesuaikan aktiva lancar dan kewajiban lancar secara eksplisit karena jumlah ini diekspresikan dalam nilai berjalan. Penyesuaian yang timbul dari menghitung nilai bersih aset-aset permanen dan modal yang telah disesuaikan dengan tingkat harga yang mewakili keuntungan atau kerugian daya beli umum dalam membiayai modal kerja dengan hutang atau modal. Bagi porsi modal ini diakui adanya kerugian daya beli selam periode inflasi.

Badan Standar Akuntansi Internasional
1.      IASB meyimpulkan bahwa laporan posisi keuangan dan kinerja operasi dalam mata uang lokal menjadi tidak berarti lagi dalam suatu lingkungan yang mengalami hiperinflasi.
2.      IAS 29: “Pelaporan keuangan dalam perekonomian hiperinflasi mewajibkan penyajian ulang informasi laporan keuangan utama
3.      Penyajian ulang dengan daya beli konstan pada tanggal neraca, bisa dengan model Historical Cost atau dengan Current Cost
4.      Keuntungan dan kerugian daya beli dimasukan ke dalam laba berjalan.

Akuntansi untuk Inflasi di Luar Negeri
FASB 89 mendorong perusahaan untuk memperhitungkan perubahan harga, tapi sebenarnya masih meninggalkan permasalahan, yaitu:
Perusahaan yang memilih untuk menyediakan data biaya kini tambahan atas operasi luar negeri dengan dua metode:
·         Restate – Translate
·          Translate – Restate
Investor memerlukan laporan keuangan yang disesuaikan dengan tingkat harga spesifik, bukan tingkat harga umum. Alasannya adalah : Penyesuaian tingkat harga spesifik menentukan jumlah maksimum yang dapat dibayarkan oleh perusahaan sebagai dividen tanpa mengurangi kapasitas produktifnya.
Masalah Restate-Translate Vs Translate-Restate bukan suatu hal yang penting jika menggunakan historical cost. Jadi, prosedur penyesuaian tingkat harga yang direkomendasikan adalah :
·   Sajikan ulang laporan keuangan untuk mencerminkan perubahan dalam harga spesifik.
·  Translasikan akun-akun menggunakan suatu nilai konstan (Kurs pada tahun dasar atau tahun sekarang)
·  Gunakanlah indeks harga spesifik yang relevan untuk menghitung keuntungan dan kerugian moneter.
Menyajikan ulang baik akun-akun perusahaan luar negeri dan domestic menjadi ekuivalen harga kini akan menghasilkan informasi relevan dengan keputusan.

Jenis Penyesuaian Inflasi
Setiap jenis perubahan harga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap ukuran-ukuran posisi keuangan dan kinerja operasi suatu perusahaan dan ditimbulkan oleh adanya tujuan-tujuan berbeda yang tersembunyi. Akuntansi untuk laporan keuangan atas perubahan tingakat harga umum disebut sebagai model daya beli konstan biaya historis. Akuntansi untuk perubahan harga khusus disebut sebagai model biaya kini.
a.      Penyesuaian Tingkat Harga Umum
Jumlah mata uang yang disesuiakan terhadap perubahan tingkat harga umum (daya beli) disebut sebagai mata uang konstan biaya historis atau ekuivalen daya beli umum. Jumlah mata uang yang belum disesuaikan sedemikian rupa disebut sebagai jumlah nominal. Sebagai contoh, selama periode kenaikan harga, aktiva berumur panjang yang dilaporkan didalam neraca sebesar biaya akuisisi awalnya dinyatakan dalam mata uang nominal. Apabila biaya historisnya dialokasikan terhadap laba periode kini (dalam bentuk beban depresiasi), pendapatan, yang mencerminkan daya beli kini, ditandingkan dengan biaya yang mencerminakan daya beli (yang lebih tinggi)dari peride terdahulu saat aktiva tersebut dibeli. Oleh karena itu, jumlah nominal harus disesuiakan untuk perubahan-perubahan dalam daya beli umum uang agar dapat ditandingkan dengan transaksi kini

Indeks Harga
Perubahan tingkat harga umum diukur dengan indeks tingkat harga dalam bentuk ∑p1q1 /∑p0q0 dimana p = harga suatu barang tertentu dan q = kuantitas yang dikonsumsi. Suatu indeks harga adalah rasio biaya. Contoh, jika sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang menghabiskan uang $20.000 untuk membeli sebuah keranjang barang dan jasa yang representative pada akhir tahun 1 (tahun dasar = awal tahun 2) dan $22.000 untuk membeli keranjang yang sama setahun kemudian (awal tahun 3), indeks harga akhir tahun pada tahun 2 adalah $22.000/$20.000 atau 1,100. Angka ini menunjukan adanya laju inflasi sebesar 10% selama tahun 2. Demikian pula halnya, apabila keranjang dalam contoh diatas $23.500 bagi suatu keluarga yang terdiri dari 4 orang pada 2 tahun kemudian (akhir tahun 3), maka indeks tingkat harga umum akan menjadi $23.500/$20.000 atau 1,175 yang menujukan laju inflasi sebesar 17,5% semenjak tahun dasar. Indeks untuk tahun dasar adalah $20.000/$20.000 atau 1.

Penggunaan Indeks Harga
Angka indeks harga digunakan untuk mentranslasikan jumlah yang dibayarkan selama periode terdahulu menjadi ekuivalen daya beli pada akhir periode. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
GPLc / GPLtd x Jumlah nominaltd = PPEc
Dimana :
GPL = indeks harga umum
c = periode kini
td = tanggal transaksi
PPE = ekuivalen daya beli umum
Sebagai contoh, misalkan uang yang dikeluarkan pada akhir tahun dasar adalah $500 dan setahun kemudian sebesar $700. Untuk menyajikan ulang pengeluaran menjadi ekuivalen daya beli tahun 3, dengan menggunakan angka-angka indeks harga dari contoh sebelumnya, maka yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Akhir dari Pengeluaran Nominal Faktor Penyesuaian Ekuivalen Daya Beli
Tahun 3
Tahun 1 $500 1,175/1,000 $587,50
Tahun 2 $700 1,175/1,100 $747,73

Dengan demikian dibutuhkan uang sebesar $587,50 pada akhir tahun 2 untuk membeli apa-apa yang dapat terbeli dengan uang sebesar $500 pada akhir tahun 1. Demikian juga akan dibutuhkan uang sebesar $747,73 pada akhir tahun 3 untuk membeli apa-apa yang dapat terbeli dengan uang sebesar $700 setahun sebelumnya. Dengan kata lain, selama periode inflasi, pengeluaran nominal sebesar $500 pada akhir tahun 1 dan sebesar $700 setahun kemudian, tidak dapat dibandingkan kecuali angka-angka tersebut dinyatakan dalam denominasi umum.
Angka-angka yang telah disesuiakan tidak mewakili biaya kini pos-pos yang dimaksud atau angka-angka tersebut masih merupakan biaya histories. Angka-angka biaya histories hanya disajikan ulang dalam unit pengukuran yang baru-daya beli umum pada akhir periode.Apabila transaksi terjadi secara merata dalam suatu periode, penyesuaian tingkat harga dapat dilakukan. Pada saat menyatakan pendapatan dalam ekuivalen daya beli akhir periode, bukan dengan menyesuaikan pendapatan setiap hari terhadap tingkat harga , tetapi dapat digunakan cara dengan mengalihkan seluruh pendapatan dalam satu tahun dengan rasio indeks akhir tahun terhadap indeks rata-rata tingkat harga umum selama tahun tersebut. Yaitu:
GPLc / GPLavg x Pendapatan Total = PPEc
Objek Penyesuaian Tingkat Harga Umum
Secara Tradisional, laba (yaitu kekayaan yang dapat digunakan) merupakan bagian dari kekayaan perusahaan (yaitu aktiva bersih) yang dapat ditarik oleh perusahaan selama suatu periode akuntansi tanpa mengurangi kekayaannya hingga berada dibawah posisi awal. Asumsikan tidak adanya tambahan investasi atau penarikan investasi oleh pemilik dalam suatu periode, jika aktiva bersih awal perusahaan sebesar £30.000 dan aktiva bersih meningkat menjadi £45.000 yang disebabkan oleh operasi yang menguntungkan, laba akan menjadi £15.000. Jika perusahaan tersebut membayarkan deviden sebesar £15.000, Kekayaan pada akhir periode akan sama dengan kekayaan pada awal periode.
Akuntansi konvesional mengukur laba sebagai jumlah maksimum yang dapat ditarik dari perusahaan tanpa mengurangi jumlah uang yang menjadi modal awalnya.
Misalkan tingkat harga umum meningkat sebesar 21% selama satu tahun. Untuk mengimbangi inflasi, suati perusahan memulai tahun dengan uang $100 akan menginginkan nilai investasinya naik paling tidak $ 121 karena jumlah ini yang diperlukan pada akhir tahun untuk memebeli apa-apa yang dapat terbeli dengan uang $100 pada awal periode. Misalkan dengan menggunakan Akuntansi konvesional, perusahaan memperoleh penghasilan sebesar $50 (setelah pajak).Menarik dana sebesar $50 akan mengurangi kekayaan nominal akhir periode perusahaan pada jumlah sebesar $100 lebih sedikit daripada yang diperlukan agar tetap sama dengan inflasi ($121). Model daya beli konstan biaya historis menganggap perbedaan ini dengan mengukur laba sehingga perusahaan dapat membayarkan seluruh labanya sebagai deviden, sementara memiliki daya beli pada akhir periode yang sama besarnya dengan awal periode.
Misalkan perusahaan dagang Argentina memulai tahun kalender dengan uang tunai (kas) sebesar AP100.000 (tanpa utang), kemudian ditukarkan dengan persediaan yang dapat dijual 10.000 CD bintang musik rock Argentina dengan biaya per unit sebesar 10 peso. Perusahaan menjual seluruh persediaannya dengan mark up sebesar 50%. Asumsikan tidak terdapat inflasi, maka laba perusahaan akan menjadi AP50.000, perbedaan antara aktiva bersih akhir dan awal (AP150.000-AP100.000) atau pendapatan dikurangi beban. Penarikan dana sebesar AP50.000 yang menyebabkan perusahaan tinggal memiliki dana sebesar AP100.000 yang sama dengan jumlah kas pada awal periode.
Dalam perhitungan diatas, penjualan terjadi sama merata sepanjang tahun, sehingga disesuaikan dengan rasio indeks harga rata-rata. Persediaan yagn dijual selama tahun tersebut dibeli pada awal tahun, harga pokok penjualan disesuiakan dengan rasio indeks akhir tahun terhadap indeks awal tahun.
Darimana datangnya kerugian moneter? Selama inflasi perusahaan akan mengalami perubahan kekayaan yang tidak berkaitan dengan kegiatan opersinya. Perubahan muncul dari aktiva atau kewajiban moneter, kewajiban untuk membayarkan mata uang dengan jumlah yang tetap dimasa depan. Aktiva moneter mencakup kas dan piutang usaha yang umumnya akan kehilangan daya beli selama periode inflasi. Kewajiban moneter mencakup kebanyakan utang yang umumnya akan menimbulkan keuntungan daya beli selama periode inflasi.
Pernyataan di Meksiko mengenai akuntansi inflasi B-10 konsisten dengan model daya beli konstan harga historis.

b.      Penyesuaian Biaya Kini
Model biaya kini berbeda dengan akuntansi konvesional dalam dua aspek utama.
1.      Aktiva tetap dinilai berdasarkan biaya kini bukan biaya historis
2.     Laba adalah jumlah sumber daya yang dapat didistribusikan oleh perusahaan dalam suatu periode (tanpa pertimbangan komponen pajak),namun tetap dapat mempertahankan kapasitas produktif atau model fisik perusahaan
3.    Satu cara untuk mempertahankan modal adalah dengan menyesuikan posisi aktiva bersih awal perusahaan untuk mencerminkan perubahan dalam ekuivalen biaya kini aktifa selama periode berjalan.

Metode Mana yang Lebih Baik
Para pendukung model daya beli biaya historis konstan berpendapat bahwa model biaya kini melanggar kerangka dasar pengukuran biaya historis karena tidak berdasarkan biaya akuisisi pada awalnya, model tersebut juga didasarkan pada biaya perkiraan hipotetis dan oleh karenanya terlalu subjektif dan sukar dilaksanakan dalam praktik. Mengabaikan perubahan daya beli umum atas uang menyebabkan perbandingan antar periode sukar diinterpretasikan dan juga tidak mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari kepemilikan pos-pos moneter seperti utang. Pada model penyesuaian biaya kini, usaha tidak dipengaruhi oleh inflasi umu, tetapi lebih dipengaruhi oleh kenaikan biaya operasi khusus dan pengeluaran aktiva tetap.
Model daya beli biaya kini konstan menggabungkan karakteristik model daya beli biaya historis konstan dan model biaya kini. Kerangka dasar campuran ini mengakui kenaikan dalam nilai kini aktiva sebagai keuntungan kekayaan, dan dengan demikian memungkinkan dilakukannya perbandingan antara laba kini dan laba pada periode sebelumnya. Perusahaan dianggap akan lebih baik hanya jika aktiva meningkat lebih besar daripada laju inflasi. Keuntungan atau kerugian moneter, yang umumnya diabaikan dalam model biaya kini, merupakan bagian dari pengukuran.

Isu-Isu Mengenasi Inflasi
Empat Isu Akuntansi Inflasi:
·   Apakah dolar konstan atau Current Cost yang lebih baik untuk mengukur pengaruh inflasi?
·     Perlakuan Akuntansi terhadap keuntungan dan kerugian inflasi
·     Akuntansi inflasi luar negri
·      Menghindari fenomena “kejatuhan ganda”

C.    KESIMPULAN

Perubahan harga terjadi diseluruh dunia, pengaruh terhadap pelaporan bisnis dan keuangan berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Selama periode inflasi, nilai aktiva yang dicatat sebesar biaya akuisisi awalnya jarang mencerminkan nilai terkininya (yang lebih tinggi). Secara umum Inflasi adalah kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus selama waktu tertentu. Dengan adanya inflasi maka pemerintah dituntut untuk mengambil suatu kebijakan dalam penentuan perubahan harga dimana untuk menentukan hal tersebut terdapat dua metode yaitu metode penyesuaian harga tingkat umum dan metode penyesuaian biaya kini. Metode yang baik digunakan untuk menentukan perubahan harga yaitu metode penyesuaian biaya kini karena Model daya beli biaya kini konstan menggabungkan karakteristik model daya beli biaya historis konstan dan model biaya kini

Sumber :
Choi, Frederick D. S. dan Gary K. Meek. International Accounting. Buku 1 Edisi 6. 2010: Salemba Empat.
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/dampak-inflasi-dan-pihak-yang.html
http://ikapurple.blogspot.com/2011/04/inflasi.html
http://riscawidya.blogspot.com/2011/05/perspektif-internasional-terhadap.html

Hiperinflasi Di Indonesia Tahun 1963, 1964 dan 1965


Hiperinflasi Di Indonesia Tahun 1963, 1964 dan 1965

Pada tahun 1963 Gubernur bank sentral ditetapkan sebagai sebutan Menteri urusan bank sentral, pada waktu itu segala urusan kebijakan moneter ditetapkan oleh Menteri urusan bank sentral dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Waktu itu aksi-aksi militer guna memadamkan pemberontakan didaerah makin menggerogoti anggaran pemerintah, diperbesar lagi adanya propaganda politik misalnya, pemberontakan Irian barat, konfrontasi dengan Malaysia, pembangunan proyek-proyek mercusuar dan lain sebagainya, yang akibatnya menimbulkan defisit bagi negara semakin parah. Defisit negara yang semula pada tahun 1955 sebesar 14% membengkak menjadi 175%. Sehingga untuk menutupinya pemerintah melakukan Money Creation yang mengakibatkan inflasi makin tinggi.

Sedangkan tahun 1964, Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 109% yang diakibatkan adanya mata uang yang berbeda di Indonesia yaitu di Riau dan Papua. Namun pada tahun1964, mata uang tersebut akhirnya dihapuskan dan Indonesia menggunakan Rupiah sebagai mata uang nasional.

Tingginya laju inflasi ini mengikis tingkat suku bunga riil para deposan, bahkan menjadi negatif. Akibatnya banyak bank yang menggunakan uang nasabah dimasukkan ke institusi luar yang returnnya lebih tinggi termasuk perdagangan komoditas yang untungnya jauh lebih besar. Sehingga BI memberi aturan tegas bagi bank-bank di Indonesia agar uang tidak lari keluar guna menjaga likuiditas dalam negeri. Sifatnya adalah membatasi ruang gerak dan peningkatan permodalan. Pemerintah memberikan aturan bahwa seluruh saldo bank-bank swasta harus dipindahkan ke rekening bank-bank pemerintah. Untuk itu pemerintah mengharuskan bank-bank swasta menambah jumlah modal sebesar 25 juta rupiah.

Namun hiperinflasi tetap tidak dapat dihindari akibat Money Creation yang terus menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Para nasabah perbankan juga gigit jari akibat nilai dana simpanannya juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung tinggi maka terjadilah hiperinflasi.

Karena, inflasi yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa menjadi turun pada tahun 1965. Laju inflasi pada waktu itu sebesar 650%, berarti harga-harga naik lebih dari enam kali lipat dalam kurun waktu satu tahun.

Perlu diketahui bahwa gejala hiperinflasi ini dulu juga dimulai dengan menguatnya nilai tukar USD seperti sekarang yang terjadi. Dimana USD menguat tak terkendali, padahal resesi ekonomi terjadi di negara yang mengeluarkan uang USD tersebut. Waktu itu Indonesia amat bergantung pada import sehingga bahan-bahan baku dan barang di Indonesia meningkat tak terkendali, suku bunga bank meroket 90% guna mengurangi likuiditas yang terlalu besar beredar di masyarakat. Dunia usaha macet, banyak penganguran dimana-mana, GDP minus, banyak orang frustasi.           

Banyaknya uang yang beredar terlalu besar mengakibatkan menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Tetapi lain bagi pemilik emas, harganya masih tetap stabil, ketika rupiah terpuruk dari 1 USD menjadi 20.000 rupiah, maka harga emas akan semakin membumbung tinggi , jika melakukan jual beli didalam negeri.

Hiperinflasi tersebut menyebabkan nilai mata uang asing menguat. Hal ini menyebabkan harga barang import semakin naik. Pada saat itu, banyak dari perusahaan di Indonesia sendiri melakukan banyak kegiatan import untuk bahan bakunya. Akibatnya banyak pabrik yang melakukan pengurangan tenaga kerja dan bahkan menutup usahanya. Hal ini menimbulkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi.
Para pemilik uang melihat hal ini akan merupakan hal yang merugikan sehingga mereka menggunakan mata uang asing untuk tetap mendapatkan keuntungan. Untuk mengurangi hal itu terjadi, maka pemerintah Indonesia menetapkan tingkat suku bunga dinaikan untuk menarik para nasabah kembali menyimpan uang di bank.

Teori dampak fisher internasional (International Fisher Effect–IFE) menggunakan tingkat suku bunga sebagai pengganti perbedaan inflasi, untuk menjelaskan mengapa kurs berubah sepanjang waktu, namun teori ini sangan terkait dengan teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity–PPP) karena suku bunga seringkali sangat terkait dengan tingkat inflasi. Menurut dampak fisher, tingkat suku bunga bebas resiko nominal mencakup tingkat pengembalian riil dan taksiran inflasi. Jika investor dari seluruh negara menginginkan pembelian yang sama, perbedaan tingkat suku bunga antar negara mungkin merupakan akibat dariperbedaan taksiran inflasi.

Dalam kasus yang kita bahas ini, pemerintah menggunakan teori dari Irving Fisher untuk menyelesaikan masalah inflasi, yakni penetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Mereka berharap dengan adanya suku bunga yang tinggi dapat menarik kembali para nasabahnya agar mau untuk menabung di bank. Hal ini dapat mengurangi money supply  yang ada, yang nantinya akan berdampak terhadap penurunan nilai mata uang asing dan penguatan pada nilai mata uang lokal.

Teori paritas daya beli (PPP) menyatakan bahwa pergerakan nilai tukar disebabkan oleh perbedaan tingkat inflasi. Jika suku bunga riil antara negara sama, maka perbedaan suku bunga nominal diakibatkan oleh perbedaan taksiran inflasi. Teori dampak fisher internasional (IFE) menyatakan bahwa mata uang asing dengan suku bunga yang relatif tinggi akan terdepresiasi karena suku bunga nominal yang tinggi mencerminkan taksiran inflasi. Suku bunga nominal juga turut membentuk resiko gagal bayar (default) atas investasi.

Sebagai contoh, misalkan :  suku bunga nominal di Amerika Serikat (AS) adalah 8%. Para investor di AS memperkirakan tingkat inflasi sebesar 6%, yang berarti mereka mengharapakan pengembalian riil sebesar 2% selama 1 tahun. Suku bunga nominal di Kanada adalah 13%. Dengan mengasumsikan bahwa investor Kanada juga menginginkan pengembalian riil sebesar 2%, taksiran inflasi di Kanada haruslah sebesar 11%. Berdasarkan teori paritas daya beli (PPP), dollar kanada diperkirakan akan terdepresiasi sekitar 5% terhadap dollar AS (karena inflasi di Kanada lebih tinggi 5%). Maka, investor AS tidak akan memperoleh keuntungan dari investasi di Kanada karena perbedaan suku bunga sebesar 5% akan terkompensasi oleh investasi pada mata uang yang diperkirakan nilainya turun 5% pada akhir periode investasi. Investor AS akan mendapatkan 8% dari investasi di Kanada, sama dengan hasil yang merekaperoleh dari investasi di AS.

Sama seperti contoh kasus di atas, apabila pada tahun 1963 inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding inflasi di Amerika maka rupiah akan terdepresiasi. Investor–investor tidak memperoleh keuntungan dari investasinya di Indonesia karena perbedaan suku bunga tersebut.

Implikasi dampak fisher internasional (IFE) bagi investor asing yang berupaya memanfaatkan suku bunga Amerika Serikat (AS) yang relatif tinggi akan sama. Investor asing akan terkena dampak negatif dari tingkat inflasi AS yang relatif lebih tinggi jika mereka berusaha memanfaatkan suku bunga AS yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, misalkan : tingkat suku bunga nominal di AS adalah 8% dan di Jepang adalah 5%. Taksiran tingkat pengembalian riil dikedua negara tersebut adalah 2%. Tingkat inflasi AS diperkirakan 6%, sementara tingkat inflasi di Jepang diperkirakan 3%. Berdasarkan teori paritas daya beli (PPP), Yen Jepang diperkirakan akan terapresiasi sebesar 3% karena perbedaan tingkat inflasi. Jika terjadi perubahan kurs seperti yang telah diperkirakan, investor Jepang yang berusaha memanfaatkan suku bunga AS yang lebih tinggi akan memperoleh hasil yang sama dengan hasil investasi pada negara mereka sendiri. Meskipun suku bunga AS 3% lebih tinggi, investor Jepang akan membeli kembali Yen pada akhir periode investasi dengan harga yang lebih tinggi 3% dibandingkan harga penjualan Yen mereka dahulu. Karenanya, pengembalian dari investasi di AS tidak lebih tinggi dibanding dengan yang mereka peroleh jika melakukan investasi di Jepang.

Kesimpulan :
Indonesia memang pernah mengalami hiperinflasi, namun tidak pernah melakukan redenominasi. Yang terjadi hanyalah nilai rupiah yang merosot tajam. Menurut studi dari Departemen Ilmu Politik Universitas North Carolina, Indonesia pernah hiperinflasi tinggi yakni pada tahun 1962 (131%), 1963 (146%), 1964 (109%), 1965 (307%), 1966 (1136%), 1967 (106%), dan 1968 (129%). Inflasi terjadi ketika jumlah money supply di masyarakat terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan nilai mata uang akan melemah sedangkan nilai dari mata uang asing akan semakin menguat. Ketika mata uang asing itu menguat, harga import akan semakin naik sedangkan harga ekspor akan semakin turun. Hal ini menyebabkan perusahaan di Indonesia yang banyak mengimpor dari luar harus mengurangi biayanya. Maka banyak terjadi pengkikisan pekerja dan penutupan banyak pabrik yang berdampak pada peningkatan pengangguran di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada investor yang merasa rugi untuk menanamkan modalnya, sehingga nilai dari investasi akan menurun. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mengambil jalan dengan Teori dampak fisher internasional (International Fisher Effect–IFE) dimana mereka melakukan peningkatan suku bunga untuk menarik kembali para nasabahnya untuk dapat mengurangi money supply.

Sumber :
http://expressknowledges.wordpress.com/tag/hiper-inflasi/
http://forum.detik.com/showthread.php?t=317449?querystring
http://geraidinarbogor.blogspot.com/2010/01/hiperinflasi-di-indonesi-tahun-1963.html
http://ilerning.com/index.php?option=com_content&view=article&id=427:dampak-fisher internasional-international-fisher-effect-ife&catid=40:mnc-a-kurs&Itemid=72
http://ilerning.com/index.php?option=com_content&view=article&id=604:hiperinflasi-di-indonesia-tahun-1963-dan-1998&catid=40:mnc-a-kurs&Itemid=72
http://logammulia.wordpress.com/2008/11/12/hiperinflasi-di-indonesi-tahun-1963/
http://www.bappenas.go.id/blog/?p=650
http://www.berita-ane.com/2011/12/daftar-negara-yang-sukses-melakukan.html
http://www.rumahuang.com/sejarah-mata-uang-indonesia/
http://www.scribd.com/doc/83790887/Hiperinflasi-Di-Indonesia-Tahun-1963